Kamis, 10 Maret 2011

TEORI KONTRAK SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.      TEORI KONTRAK SOSIAL
Teori kontrak sosial yang menjadi salah satu teori utama menghurai kewujudan negara yang perlu difahami ialah asas dan semangat kontrak sosial itulah yang menjadi landasan kewujudan kontrak sosial kita. Justeru, tidak timbul soal pemimpin memutarbelitkan makna kontrak sosial daripada pencipta asalnya.
Perlu difahami, tiada satu pun teori dalam dunia ini dapat diikuti sepenuhnya. Latar belakang sejarah dan budaya sesebuah negara mesti diambil kira. Malah, negara Barat sendiri tidak dapat mengikut sepenuhnya erti kontrak sosial yang diteorikan oleh pencipta asalnya.
Teori kontrak sosial menjelaskan negara dibentuk atas kehendak dan kesediaan anggota masyarakat mengadakan kontrak bagi menjaga kepentingan dan keselamatan umum. Dalam teori ciptaan tuhan (negara teokrasi) menyatakan tuhan memberi mandat kepada raja untuk memerintah rakyat dan tuhan jugalah yang mencabut balik mandat kekuasaan apabila raja dianggap tidak memerintah dengan adil.
Sebaliknya, teori kontrak sosial yang ideanya muncul pada era pencerahan di Eropah memartabatkan ‘rasionalisme’, ‘humanaisme’ dan ‘realisme’ sebagai alur pemikiran utama. Ia meletakkan manusia sebagai pusat gerak dan segala peristiwa dunia, bukannya tuhan. Sebagai umat Islam kita tidaklah berpendirian demikian.
Kita akur bahawa Sahifah Madinah yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebahagian kontrak sosial di antara orang Islam dan orang bukan Islam (Yahudi) meletakkan kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai landasan utama pembentukan perlembagaan terbabit.

Dalam membincangkan teori kontrak sosial, pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau perlu dirujuk kerana mereka dianggap pencetus idea kontrak sosial. Hobbes (1588-1679) menyatakan tindakan manusia secara kudratnya digerakkan oleh hasrat nafsu (appetite) dan keengganan (aversion).
Appetite manusia adalah hasrat terhadap kekuasaan, kekayaan, kehormatan dan pengetahuan. Aversion manusia pula adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hasrat manusia tidak terbatas tetapi pada masa sama ia tidak mahu hidup sengsara.
Kuasa antara sesama manusia menyebabkan kehidupan menjadi tidak aman. Penyelesaiannya ialah manusia mencipta ‘kondisi buatan’ (lawan kepada kondisi alamiah), iaitu apa yang dinamakan keperluan sivil.
Ini bermakna anggota masyarakat bersedia untuk bersetuju dan bersepakat untuk melepaskan hak-hak mereka dan memindahkannya kepada badan atau lembaga (organisasi) yang diberi kuasa tertentu bagi maksud menjaga kesepakatan itu supaya keselamatan rakyat terpelihara.


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Hugo Grotius
Kontrak sosial adalah perkembangan dari teori hukum alam, terutama pandangan Grotius. Grotius memilih mengutamakan akal pikiran sebagai sumber hukum dasar, dengan titik awal sifat sosial manusa. Grotius melihat bahwa karakteristik manusia yang mendasar tidak hanya sekedar keinginan untuk hidup di masyarakat, tetapi keinginan untuk hidup di masyarakat yang tertib dan damai. Pikiran yang benar tidak hanya mengharuskan memelihara ketertiban sosial, tetapi juga sumber semua hukum. Meski tetap mengaitkan sifat sosial manusia dan eksistensi pikiran yang benar dengan tuhan, Grotius menegaskan bahwa validitas kasusnya akan berkurang bahkan jika tuhan tidak ada. Grotius membantu orang untuk mendukung pendapatnya, tanpa memandang keyakinan agamanya.
2.      J.J Rousseau
Rousseau secara tertulis Kontrak Sosial adalah untuk menentukan bagaimana kebebasan dapat dibuat dalam masyarakat sipil, dan kami mungkin melakukannya dengan baik untuk berhenti sejenak dan memahami apa yang ia maksudkan dengan "kebebasan." Dalam keadaan alamiah kita menikmati kebebasan fisik tidak memiliki pembatasan pada perilaku kita. Dengan memasukkan ke dalam kontrak sosial, kita menempatkan pembatasan pada perilaku kita, yang memungkinkan untuk hidup dalam sebuah komunitas. Dengan memberikan kebebasan fisik kita, bagaimanapun, kita memperoleh kebebasan sipil bisa berpikir rasional. Kita dapat menempatkan sebuah memeriksa dorongan hati dan keinginan, dan dengan demikian belajar untuk berpikir secara moral.Istilah "moralitas" hanya memiliki makna dalam batas-batas masyarakat sipil, menurut Rousseau.
Bukan hanya kebebasan, lalu, tetapi juga rasionalitas dan moralitas, hanya dapat dilakukan dalam masyarakat sipil. Dan masyarakat sipil, kata Rousseau, hanya mungkin jika kita setuju dengan kontrak sosial. Jadi, kita tidak hanya harus berterima kasih masyarakat untuk perlindungan bersama dan perdamaian itu affords kita, kami juga berutang rasionalitas dan moralitas kepada masyarakat sipil. Singkatnya, kita tidak akan manusia jika kita tidak peserta aktif dalam masyarakat.
Langkah terakhir ini sangat menentukan perspektif komunitarian yang mengadopsi Rousseau. Jika kita hanya dapat sepenuhnya manusia di bawah naungan kontrak sosial, maka kontrak lebih penting daripada individu yang menyetujuinya. Lagi pula, orang-orang hanya memiliki nilai karena mereka setuju dengan kontrak itu. Kontrak ini tidak ditegaskan oleh masing-masing individu secara terpisah begitu banyak seperti yang ditegaskan oleh kelompok kolektif. Dengan demikian, kelompok kolektif lebih penting dari setiap individu yang membuat itu. Penguasa dan umum akan lebih penting daripada subyek dan kehendak khusus mereka.Rousseau bahkan lebih jauh berbicara tentang sultan sebagai individu yang berbeda yang dapat bertindak atas kemauannya sendiri.
Kita mungkin bereaksi terhadap argumen ini dengan pemesanan serius, dan memang, Rousseau telah dituduh mendukung totalitarianisme. Kita hidup di usia di mana hak-hak individu yang dianggap sangat penting, dan menghina untuk berpikir bahwa kita hanya bagian kecil dari keseluruhan yang lebih besar. Alih-alih membuat kebebasan mungkin, kiranya kita bahwa sistem Rousseau mencabut kebebasan.
3.      Jhon Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
4.      Thomas Hobbes
Inti pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan dengan'). Empirisme menyatakan bahwa pengalaman adalah asal dari segala pengetahuan. Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat berupa fakta yang dapat diamati. Segala yang ada ditentukan oleh sebab tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Yang nyata adalah yang dapat diamati oleh indera manusia, dan sama sekali tidak tergantung pada rasio manusia (bertentangan dengan rasionalisme). Dengan menyatakan yang benar hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan jaminan atas kebenaran. Karena menganggap yang benar hanyalah yang dapat diamati secara inderawi, maka Hobbes termasuk penganut materialisme juga.
Pandangan Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan: apa yang menggerakkan manusia? (what makes him tik?). Di sini, Hobbes membandingkan manusia dengan sebuah jam tangan yang bergerak secara teratur karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Hobbes memandang manusia secara mekanis belaka. Manusia adalah setumpuk material yang bekerja dan bergerak menurut hukum-hukum ilmu alam. Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam anggapan moral-metafisik tentang manusia. Misalnya saja, pandangan bahwa manusia memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya. Jiwa dan akal budi hanya dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi Timur Tengah yang amat buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.
Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya) Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan alamiah" saat belum ada terbentu negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, mereka mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.
Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian






BAB III
KESIMPULAN
Sumbangan pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke dan Rousseau di atas bisa membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah maupun pihak rakyat yang diperintah. Dalam praktik kehidupan perilaku politik, masing-masing sumbangan pemikiran itu sering mewarnai kehidupan dan perilaku politik.
Amerika Serikat, misalnya, walaupun secara tegas mengoper teori kontrak sosial dari Locke, akan tetapi tidak jarang praktik-praktik politik pemerintahnya diwarnai oleh teori kontrak sosial dari Hobbes dan Rousseau. Teori Hobbes yang mengandung dasar-dasar teori kekuasaan prerogatif, paling tidak telah mewarnai tindakan-tindakan Presiden Abraham Lincoln, Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan Richard Nixon.
Lincoln, Wilson dan Roosevelt bahkan berhasil menikmati praktik-praktik politik yang lebih dekat dengan teori Hobbes daripada teori Locke karena keadaan darurat (Perang Saudara, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) memang memberi peluang “Leviathan memanfaatkan hak prerogatifnya.” Nixon, sebaliknya, harus kalah karena ia memamerkan praksis teori Hobbes pada saat masyarakat sedang menggandrungi praksis teori Rousseau. [Basis Susilo, “The Constitutional Role of the US President in Foreign Policy,” makalah 1985, tidak diterbitkan.]
Walaupun teori kontrak sosial mendasari pemikiran politik suatu masyarakat, akan tetapi dinamika kehidupan dan perilaku masing-masing harus dibedakan apakah yang mewarnai Hobbes, Locke atau Rousseau. Apabila yang lebih mewarnai adalah Hobbes, maka kehidupan dan praktik perilaku politik rakyat hanya ditandai dengan kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa, sementara penguasa akan merasa leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan tuntutan politik dari rakyatnya.

0 Comment:

Template by:
Free Blog Templates