Jumat, 04 Maret 2011

Hukum Agraria: Hukum Tanah Adat dan Nasional

Ikhtisar BAB VII Buku Prof. Boedi Harsono

Sebelum UUPA diberlakukan pada tanggal 24 September 1960, ketentuan hukum tanah yang digunakan di Indonesia bersifat pluralis. Dikatakan pluralis karena pada waktu sebelum diberlakukan UUPA terdapat berbagai ketentuan hukum tanah, antara lain:
•    Hukum tanah adat
•    Hukum tanah Barat
•    Hukum tanah swapraja
•    Hukum tanah antar golongan
•    Hukum tanah Administrasi


Namun terkadang keadaan hukum tanah sebelum UUPA juga bisa dikatakan suatu keadaan yang dualisme. Kata dualisme sebenarnya kurang tepat digunakan, karena pada kenyataannya hukum tanah yang digunakan waktu itu berjumlah lebih dari dua, tepatnya yaitu lima. Namun para ahli menekankan bahwa perkataan dualisme ada benarnya juga, karena apabila ditarik garis besar dari keberlakuan kelima hukum tanah tersebut sebenarnya yang paling menonjol adalah hukum tanah adat dan hukum tanah barat, keadaan yang seperti inilah yang kemudian muncul istilah dualisme.
Pada tanggal 24 September 1960 UUPA mulai diberlakukan, maka secara otomatis keadaan pluralis atau dualisme tersebut menjadi hilang. Dalam buku Prof. Budi Harsono dikatakan bahwa “UUPA mengakhiri kebhinekaan perangkat hukum yang mengatur bidang hukum pertanahan dan menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal, yang didasarkan pada hukum adat.” Hukum adat yang dimaksud disini adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Pengertian hukum adat yang seperti ini didasarkan pada seminar hukum adat dan pembangunan hukum nasional, pada tahun 1975.

A. konsepsi Hukum Adat dan Tanah Ulayat
Konsepsi hukum adat telah dirumuskan sebagai konsepsi yang bersifat komunalistik religius, yang artinya tanah adalah milik bersama suatu masyarakat yang mendiami tanah tersebut, kepemilikan bersama tersebut terjadi karena masyarakat hukum adat saling hidup bersama atau berkelompok dan memiliki hubungan hukum dengan tanah yang ditempati tersebut.
Sifat komunalistik religius tersebut dapat dimungkinkannya suatu tanah dimiliki oleh perorangan, hal ini karena hukum tanah adat memiliki dua unsur, yaitu:
1.    Unsur Kepunyaan
2.    Unsur Tugas pengaturan dan kewenangan
Unsur kepunyaan lebih bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat hukum publik, maksud dari unsur ini adalah bahwa kepala adat memiliki wewenang mengatur tanah adat karena telah didelegasikan dan diberikan kewenangan untuk menjalankan peranan mengatur. Dari unsur ini muncul hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat, hierarkinya adalah sebagai berikut:
•    Hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan publik
•    Hak kepala adat dan para tetua adat, bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum publik semata
•    Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.

B. Hak Ulayat Berlaku ke Dalam dan berlaku ke Luar
Hak ulayat berlaku ke dalam maksudnya para anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah masyarakat hukumnya. Tetapi untuk menjaga itu diusahakan jangan sampai terjadi bentrokan dengan anggota masyarakat lainnya, misalnya tanah yang akan dibuka itu juga akan dibuka oleh seorang anggota lain, maka sebelum membuka tanah ia harus memberitahukan hal itu kepada penguasa adatnya.
Sedangkan hak ulayat berlaku ke luar artinya suatu hak ulayat bisa dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adatnya.

C. Eksistensi Hak Ulayat
Hak ulayat tetap diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disetai dua syarat, yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pelaksanaan hak ulayat itu sendiri diatur dalam pasal 3 UUPA “pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Pengakuan hak ulayat setidaknya harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
•    Masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu
•    Masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang didasari sebagai kepunyaan bersama para masyarakat hukum adat.
•    Kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyaataanya dan diakui oleh para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum adatnya, mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut.

D. Hak Ulayat dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan
Menurut pernyataan undang-Undang Pokok Kehutanan semua hutan dalam wilayah republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara. keadaan yang seperti ini tidak lantas menghilangkan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Penguasaan masyarakat hukum adat atas hutan-hutan tertentu yang didasarkan pada hukum adat, yang lazimnya disebut dengan hak ulayat, diakui dalam UUPA tetapi sepanjang menurut kenyataanya memang masih ada. Berhubungan dengan itu dimasukannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat tersebut kedalam pengertian “Hutan Negara” tidaklah meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaannya pun harus sedemikian rupa hingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan.
Dalam pasal 67 Undang-Undang Pokok Kehutanan disebutkan bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
•    Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan
•    Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-Undang
•    Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
E. Hubungan Fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
Inti dari hubungan fungsional hukum adat dan Hukum Tanah Nasional adalah bahwa hukum adat:
I.    Sebagai sumber utama
II.    Dan sebagai pelengkap Hukum Tanah Nasional yang tertulis
Hukum adat sebagai sumber utama meliputi:
•    Konsepsi ? ajaran atau teori
•    Asas-asas ? yang merupakan perwujudan dari konsepsi
•    Lembaga Hukum ? lembaga-lembaga yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang masih sederhana, yang kemudian disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan guna membangun perkembangan Hukum Tanah Nasional seiring dengan perkembangan zaman.

•    Sistem tata susunan yang teratur
•    Norma Hukum

Dari sinilah bisa terlihat suatu hubungan fungsional antara hukum adat dengan Hukum Tanah Nasional. Hukum adat dengan hak ulayat memiliki unsur kepunyaan yang lebih bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat hukum publik yang didelegasikan pada penguasa adat. Kemudian konsep ini diadaptasikan dalam Hukum Tanah Nasioanal menjadi Hukum Tanah Nasioanal dengan hak bangsa yang memiliki unsur kepunyaan yang bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat hukum publik yang didelegasikan pada negara. Secara mudah bisa dilihat yang berubah hanya hak ulayat menjadi hak bangsa dan kepada siapa kewenangan itu didelegasikan.

0 Comment:

Template by:
Free Blog Templates